When Dafa's ill

I looked at the sight of Dafa, while sitting next to him. He closed his eyes peacefully. On the outside, it looked as if he’s fine, but when I hold him, a burst of heat stung my palm. Yes. He was having a temperature. I caressed his hair, trying to untangle the ends. Suddenly he opened his eyes, and said,

“Water.” His voice were gruff. I handed him water bottles and its straw. He woke up trembling, then I helped him up. I have to bit my lower lip, to resist the urge to cry. He drank slowly with his quivering lips. His lips were gone bright red from his fever. He’s looking quite handsome, actually. With his fair skin, handsome face and red lips. The thought of this made me smile a bit. But the smirk suddenly gone, and left my edge of lips twitching. He looked at me slowly, and gave me a weak smile.

“Go back to sleep, Champ.” I told him while caressing his hair slowly. He nodded and laid his head on the pillow. I tucked him inside his blanket. As he drifted away in sleep, I sighed. I wanted to cry, but then there were no tears that would drop from my eyes. That day was the second day of his fever. A pain stung my head. I closed my eyes and breathed deeply, the pain grew weaker a little, but its left minor throb on the corner of my head. Suddenly, I felt tired.

Physically tired, yes. and also tiresome of being lonely. I needed someone to laid my head on the shoulder and cry. I couldn’t risk Dafa seeing me cry. I had once cried in front of him, few weeks after the divorce, and ended up making him sad and crying. I then promised to myself never to cry in front of him again.

I took a deep breath, realizing that everything had been consequences of my choice. I had to accept it, and go with the flow. I then had myself lost in my thoughts. Dafa stirred from his sleep, and shifted me from things that ran in my head.

“Mom..” he said slowly.

“Yes? What is it, Darling? Do you feel hurt?” I asked him. and hold his head carefully with both of my hands.

“No.” He said. He was sleeping against me, and faced the wall, so I couldn’t see his face. “Is Dad going to see me?” He continued. I gasped, but frantically tried to hide it.

“Ummm.. I think he’s busy, Dear.” I then answered, desperately trying to sound normal, and not depressed.

“Oh.” He sighed.

“Now go back to sleep. You wouldn’t want to miss school again, would you?” I said cheerfully.

“Em..hmm.” he hummed. And there were long silence. I took another deep breath.. then I said something in my mind:

"I’m Sorry, Dafa. Daddy doesn’t even care if you are sick. He never called you, not giving you any tuition, not even single penny of allowance he’d sent to us."

I didn’t even cry at this thought. His Dad doesn’t worth my tears anyway.

Kamis, September 03, 2009 at 21.04 , 6 Comments

Senja di atas bukit

Senja itu, di atas bukit. Matahari hampir tak tampak sinarnya. Angin yeng meniup perlahan, kerlap kerlip lampu kota di kejauhan, dan udara yang dingin menggigit. Kakiku membeku, tersengat dingin air di kamar mandi. Aku lalu menghampirinya, dan duduk di sebelahnya.

"Dingin." Gumamku sambil mengusap telapak kakiku yang pucat. Ia lalu meraih kaki ku perlahan.

Aku menatapnya dan tersenyum. Sengatan dingin di kakiku perlahan hilang. Ia mengusapnya dengan tangan besarnya. Ia balas tersenyum menatapku. Bukan hanya usapannya yang membuat gigil itu hilang, tapi tatapannya padaku.

“Thanks” kataku. Ia hanya tersenyum.

Lalu kisah dan kata diceritakan.. kadang disela dengan tawa. Hatiku menghangat di setiap tatapannya, setiap senyuman dan setiap kata-kata yang terucap. Ditemani oleh makan malam yang lezat.. ahhh.. betapa nikmatnya….

Sesaat ku hirup hangatnya kopi susu. Menambah nikmatnya malam itu..Ku mainkan jemariku di antara jemarinya, kadang ku usap lembut rambut-rambut nakal yang mencuat di pipinya. His 2-day beard.. terasa kasar di jemariku.. tapi sensasinya menyenangkan ku… ‘feels manly’..

Mi querido...

“Jadi..” katanya sambil mengenggam tanganku..

“Ke mana ujungnya kita?” lanjutnya. Aku hanya menatapnya, pura-pura marah dan hanya bisa berkata.. “Oh shut Up!!”.

Ia tertawa renyah.. dan aku tersenyum. Memang aneh.. kami merasakan perasaan yang sama.. saling menemukan kecocokan, saling mengisi, saling mengagumi, dan saling merindukan.. namun kami punya banyak hal lain yang harus kami pikirkan, untuk melangkah lebih jauh. . Ibarat sebuah perahu kecil.. yang ingin melintasi danau yang besar.

Lalu kesunyian melingkupi kami. Bukan kesunyian yang mencekam, namun kesunyian dimana masing-masing saling menikmati keberadaan, menikmati suasana, meresapi rasa yang sama-sama kami rasakan. Angin berhembus perlahan. Kelap kelip lampu kota di bawah kami, serasa menambah indah momen tak terlupakan ini.

“I’ve told my mum..” Katanya, di antara kepulan rokoknya. Kedua matanya menerawang . Aku membelalak kaget, namun tersenyum.

“Lalu?” Tanyaku. Jantungku berloncatan. Tak sabar menanti jawabnya. Dia tampak sedang berpikir. Mencoba merangkai kata-kata.

“Emm.. kamu tau sendiri, mungkin….” Katanya. Ia menoleh dan menatapku. Aku menangkap tatapannya, dan memandang kearah lain. Menerawang.

“Yeah.. kalau anak laki-lakiku dekat dengan seorang janda, aku pun akan menyarankan tuk ‘mencari yang masih perawan’..” Kataku. Bibirku tersenyum, namun hatiku…

“So, what did she say?” Tanyaku. Perih hatiku mulai terasa, bagai seutas tali tipis menggores di hatiku.

“Well, she was…. Silent. Diem.” Katanya . Aku tersenyum menatapnya. Ia tak tahu.. hatiku sudah mulai tersayat.

“Hmmm.. salah approach kali, Hon.. harusnya sebutin dulu kelebihan-kelebihan Akuu.” Kataku. Aku tertawa ringan, berusaha menyembunyikan galau di hatiku. Aku meremas jemarinya..

“Udah…” Katanya. “Tapi tetep, pas aku keluarin statement itu.. beliau langsung diem.” Lanjutnya.

“Ow.. and I’ve told my brother too..” Katanya lagi. Jantungku semakin tak keruan detaknya.

“And then?” tanyaku.berusaha menenangkan degub yang berkejaran di dadaku. Ia mengangkat bahu…

“Kakakku bilang….. ‘why not try to find someone else first? Dia pernah gagal, bagaimna kalu nanti kamu gagal juga?’…” Lanjutnya. Ahh.. sayatan lagi di hatiku.

“Tapi Hon.. aku cuma bilang gini...‘Gimana klo setelah mencari ternyata nggak ada yang lebih baik dari dia?, atau ternyata, ujung-ujungnya ya sama dia?’” katanya lagi. Sedikit aliran kesejukan mengaliri sayatan-sayatan di hati.

“Hmm..” Gumamku perlahan. Aku menangis dalam hati… Jika aku bisa memilih, tentunya aku tak ingin jadi seorang Janda.. apalagi di usia semuda ini. Namun aku telah memilih. Memilih tuk pergi dari ketidak jujuran dalam bahtera yang kuarungi dulu. Memilih untuk berhenti tersiksa. Memilih untuk berhenti di tindas. Memilih untuk pergi dari seseorang yang menyeretku ke lembah penderitaan. Ahh…

Aku tahu, pilihanku penuh dengan konsekuensi. Konsekuensi yang dalam beberapa hal aku sangat siap menghadapinya. Segala beban hidup yamg harus ku tanggung, kesendirian yang kulewati tiap malam, trauma berat yang kualami akibat segala perbuatan mantan suamiku, dan merahnya telinga akibat menjadi bahan gunjingan orang lain, semua aku hadapi dengan dagu terangkat dan tekad yang penuh semangat. Tapi ada juga konsekuensi yang hatiku masih belum siap tuk hadapi. Aku terbiasa diterima di segala kalangan, dari mulai anak kecil sampai Orang tua.. mungkin karena sifatku yang mudah akrab dengan orang lain.. ‘penolakan halus’-yang walupun belum final-dari keluarganya sedikit mengguncang hatiku.. Aku tersenyum pedih dalam hati.

“Sabar Rana. Manusia iu lebih mulia dalam sakitnya sabar. Lagi pula, kamu belum pernah bertemu mereka. Mungkin setelah bertemu, mereka justru akan menyayangimu dan Dafa.” Kataku dalam hati.

Ia mengusap jemariku perlahan. Kepedihan dalam hatiku berangsur pudar. Aku menghela napas. Aku terenyum lagi.. memandangnya… Ia yang selalu ada untukku, selalu mendengarkan keluh kesahku, mendukungku, bahkan meminjamkan punggungnya untuk ku tumpahkan air mata. Aku mengenalnya belum terlalu lama.. namun terasa seperti telah mengenalnya bertahun-tahun. Aku kagum akan kecerdasannya, segala tutur katanya yang indah, pribadinya, kerasnya hidup yang telah ia lewati dan kedewasaanya. Sikapnya yang selalu santun, dan tak pernah memanfaatkan kesempatan maupun statusku sebagai seorang Janda. Ia selalu bisa tahu apa yang berkelebat di hatiku, tanpa aku katakan padanya. Ia selalu menghiburku kala ku resah, selalu bisa membuatku terbahak dengan segala ceritanya, serta menenangkanku saat aku gundah. Aku belajar banyak hal darinya dan menjadi kuat karenanya. Aku merasa nyaman berada di dekatnya, terheran-heran akan banyak kesamaan yang kami miliki.

Setelah pernah gagal, aku lebih selektif dalam berhubungan dengan para pria. Aku telah banyak menemui banyak pria, banyak berusaha mengenal mereka, bahkan menerima ajakan ‘hangout’ dari pria yang menurutku ‘lulus seleksi’dan tidak berniat ‘aneh’ terhadapku. Namun entah mengapa, tak ada yang bisa membuatku senyaman pria aneh yang ada di depanku ini. Segala yang kami lalui nampak seperti air.. mengalir perlahan, dan meninggalkan jejak mendalam di setiap alirannya. Yang kurasa..Ia seperti seseorang, darimana rusukku berasal…

Ia memang tak sempurna, seperti layaknya manusia lainnya. Namun ketidaksempurnaanya hanya membuatnya makin sempurna di mataku.

Sering aku berusaha menahan rasa ini. Menahan rindu. Takut semuanya seperti yang kualami dengan mantan suamiku. Namun ada hal-hal dalam dirinya yang meyakinkan ku, bahwa aku akan baik-baik saja di tangannya.

“Hei..” katanya. Sesaat aku tersadar dari lamunan dan pikiran di benakku. Aku kembali tersenyum padanya. Ia mengusap pipiku, aku merasakaan getaran itu, dan menikmati sensasi kupu-kupu yang beterbangan di perutku. Aku tersenyum dalam hati.. setelah mengenalku sekian lama, dan seringnya kami pergi bersama, baru kali ini ia menyentuh pipiku.. aku benar-benar salut akan ketahanannya. Kebanyakan pria bila dalam suasana seromantis ini, cenderung akan mencium pasangannya atau bahkan ‘bergerilya’ dengan tangan mereka. Tapi Ia? Ia tak menyembunyikan betapa ia ingin meraihku dalam peluknya, namun ia tak melakukannya. Ia sangat menghargaiku. Inilah salah satu alasan mengapa aku merasa aman didekatnya. Aku tahu, manusia pun punya batas kesabaran, namun aku yakin dan percaya sepenuhnya padanya, bahwa ia akan sangat menghormatiku.

Ia lalu menanyakan sesuatu tentang masa laluku dengan mantan suamiku. Aku menjawabnya. Namun semakin banyak kata yang terucap, semakin perih hati ini tersayat, teringat akan semua perbuatannya padaku. Aku terisak, ia meminjamkan punggungnya, dan meremas tanganku perlahan. Seakan mengatakan kalau “you are gonna be okay..I’m here with you..” Ia lalu membiarkanku hingga aku merasa tenang.

Oh.. secara batin aku semakin merasa dekat dengannya..

Salahkah bila aku menyimpan harap padanya? Namun tiba-tiba aku tersadar.. cukup berharga kah diriku untuknya? Cukup berhargakah aku untuk diperjuangkannya?

Ahh.. aku hanya bisa menyimpan asa. Manakala ia ingin mencari ‘yang tidak seperti aku’.. hatiku pasti akan hancur..berkeping-keping, dengan serpihan yang jauh lebih kecil….akan merasa sangat berat untuk melepasnya dan merelakannya pergi. Tetapi mungkin aku akan merasa bahagia, bila ia berbahagia.

Hmmmm, could I?

......................

-->finalmente encontrĂ³ a alguien y es feliz de que usted<-- ;)

Jumat, Mei 08, 2009 at 22.58 , 2 Comments

the lenses, the eyes and the smile

The sun shone right through the trees...
The cloud engulfed the rays sometimes,..
And the wind that breezed lazily...
Mutually crafting the right atmosphere...

Dark hollow stood still
Drifting cold and moist gust,
The ancient rough stone walls...
Kept silent, but held so many stories...

Footsteps and laughter echoed along the tunnel
Small fingers that hung on muscular arm,
Glances and smiles exchanged...
Expressing unspeakable expression...

All the beautiful moments
When hands were clasped
When fingers were sewn together
When hugs were given and accepted
And stories were shared

Feelings were felt, but untold
Laughter was present
Sadness was a gift
Compassion arose
Sympathy had evolved
Right under the darkness of the hollow

Figure that leaned upon humid and rough wall
Eye that looked through small lenses,
Froze times...
Captured moments...
Captivated the smile...

Did the eye able to see,
the sorrow that hid behind the smile?
Did the lenses ever captured
The hesitation that crawled behind the eyes that smiled?

The smile hid the sorrow,
because somehow
It knew that these moments had to end
And the smile will have gone too
And though the smile ever present again,
It will never be the same,
It will never be as cheerful
It will never be as sincere...

Apparently those moments
Had engraved deep...
Within the smile…

The eyes that were captured by the lens, hesitated,
Because they had no mouth to tell
That they want that moment to last forever,
That they always want to look at him, and him only
But all the eyes could do,
Was to spill out tears...

Over someone…
That was the best that ever happen to them
And someday
Would go away...

-this song remind me of him-

Jumat, April 17, 2009 at 01.12 , 0 Comments

Hanya bisa.....

ah.. pagi yang indah..
saat mentari pagi cerah menyapa embun dan rerumputan..
sukmaku ikut tersenyum..
aku tak bisa pungkiri, aku tak bisa sembunyikan..
rasa bahagia yang membuncah dalam dadaku..

mungkin kalau semua bagian tubuhku punya bibir…
semuanya akan tersenyum ..


aku bahagia


aku..
ingin bersandar padanya..
selamanya bisa meletakkan kepalaku di pundaknya..
ingin selalu bisa memeluknya erat..
ingin selalu dapat menjadi tempat keluh kesahnya..
Mendengarkan segala pemikiran dan angan-angannya..
ingin jadi seseorang yang bisa mendampinginya… saat lelah mendera..
Ingin menjadi seseorang yang dipeluknya.. saat ia terbalut amarahnya..
ingin melihat senyumannya… menghiasi hari2ku..
selalu ingin.. tanganku terlihat mungil di genggam tangannya..

tapi…
lalu ada rasa dingin yang menyergap seluruh tubuhku…
aku teringat lukaku..
sayatan-sayatan pedih itu..
menimbulkan bekas yang mendalam..

salahkah aku bila merasa takut?

aku takut..
aku takut suatu saat aku kan jatuh lagi..
dan tak kan mampu berdiri..

aku takut...

Selasa, Maret 31, 2009 at 18.03 , 1 Comment

Antara Keinginan dan Kebutuhan

Ketika keinginan tak terpenuhi
Haruskah kita menangisi diri sendiri?
Ketika kebutuhan yang terpenuhi
Apakah kita tetap memendam keinginan?

Saat hati berucap kata, namun tak bisa
Saat hati ingin bicara, namun terhalang oleh logika
Haruskah kita meredam keinginan?
Membiarkan kebutuhan yang berujar
Dan biarkan semua berjalan apa adanya

Atau haruskah kita mengejar keinginan..
Dan mengabaikan kebutuhan..
Tak peduli hati tersakiti,
kebutuhan tak terpenuhi
demi untuk sesuatu yang belum pasti?

Ahh..
Manusia memang tak pernah puas…

(that includes you and me :D)

Kamis, Maret 12, 2009 at 23.02 , 2 Comments

Forms of attentions

Kadang, yang namanya manusia selalu haus akan perhatian.. apalagi yang namanya wanita.. beuuuuhh, selalu ingin diperhatikan.

Saya wanita (yeah, last time i chececked, I am. hehhe)dan saya merasa, bahwa kebutuhan primer saya udah jauh lebih rumit dari orang2 dulu.
Jamn dulu, kebutuhan primer adalah: Sandang, Pangan dan Papan
Kebutuhan Primer sayah : Sandang, Pangan, Papan, Hp, Tv, Internet dannn Gombalan.

gyahahhha.. bodoh sih.. tapi akhir2 ini emang lagi pengen dijadiin 'objek gombalan' para cowok..
Salah satu nya ya ini..pengen diperhatiin..dimanja.. di buat merasa klo saya adalah 'satu2nya punya dya..'

tapi mood2-an loh..
Kadang.. saya cuma pengen dipandangi,dan dikasi senyum
Kadang.. pengen digenggam tangan doang..
kadang.. pengen dipuji..
kadang.. pengen dikasih surprise
kadang.. pengen dipeluk.. (wah.. bahasan peluk ini seru banget.. next post ya??)
kadang.. cuman pengen dy naro kepalanya di pangkuan saya
dan kadang.. pengen dikasi bunga deposito... ahahhahhahhhaha kidding
you know.. semua bentuk attention yg gak saya dapet dri dya..

nah itu.. saking saya pengen dan berharap macem-macem.. saya jadi nggak sadar.. bahwa ada bentuk perhatian yg keknya sepeleeeeee banget.. tapi ternyata..
pas bentuk perhatian itu ilang..
saya jadi bener2 kehilangan... :'C..

apakah itu?
sms.. yg isinya : "lagi apa?" atou "dah tidur?" "jaga kesehatan yaa?"

sepele kaan? tapi ya itu...I was stupid.. saya nggak sadar klo sebenernya dy merhatiin saya...

ahh.. manakalanya dy ga ada.. saya.. kesepian :((..
dan saya jadi kangen.. ;((

dan saya jadi addict sma lagu ineh ;))
- Pasto- Aku pasti kembali-

makanya..
kita harus bisa mensyukuri sgala bentuk perhatian orang lain sama kita.. syukur2 klo bisa ngebalesny dlm bentuk lebih..

jgn ampe kek sy.. ehhehhe :D



Minggu, Maret 08, 2009 at 19.20 , 2 Comments

Lagi pengen curhat..

Kehidupan saya sekarang, buat saya cukup membingungkan..
ibaratnya baru turun dari salah satu wahana 'serem' macam tornado dan kicir2 di Dufan..
adrenaline rush, seneng, tapi yang pasti mah... disoriented..

coba.. yg tadinya punya partner dan tempat share.. sekarang nggak
yg tadinya must 'ngurus' yg gede.. skrg tinggal 1 uruseun
yg tadinya klo jalan2 dan hengout saya pake 'kcamata kuda' sekarang,, ehehhehhehhe
mata saya jelalatan.. huahaahha..

tapi yang bikin deg2an adalah..
having a date..

gyahahhahhah..
lucu
waktu pertama having a date lagi...
cangguuuuuuuuuuuuuunng banget
(wajar lah.. dah lama bareng sama particular person)

kebiasaan2 lam susah ilang, contoh:
turun dari kendaraan, saya langsung nyelipin tangan di sikunya.
wah Sakadang dya langsung kaget...

"oops.. sori.. kebiasaan.. " sayah nyengir.. dy jalan 3 langkah depan sayah
wahhahhhah

Hmmm... gmna ya klo kebiasaan kiss*g saya kumat?

"oops.. sori.. ketempel" wahhahhahha

Intinya adl... asik juga, meeting new people, share new paradigmas.. brain storming...

Cuman what sucks adalah.. harus 'membiasakan' diri lagi..
orang baru.. kebiasaan bru
style,
fav food

ahh..
pokoknya jadi brasa abg lagih!! wiiihii

eh.. klo ada yg mau cerita ttg 'disaster date' boleh2.. ayo ceeritaaaaaa

ehehhhe

Btw, buat yg lagi nunggu2 cerita Rana and Rega.. sabar yaa,,,
lagi sibuk di ktr.. ehhehhe

-luv yaall-
=Rana-

Selasa, Maret 03, 2009 at 23.06 , 8 Comments

Lamunan tengah malam

Saya bingung,,
akhrir2 ini saya sibuuuuuuuuuuuk sekali di kantor..

saya bener2 kasian sama Dafa..
i hav no time for him..

diantara kerja-ngasi les-jadi housewife-nge blog-sama tidur

ahh,, sayang...

maafkan aku nak..

at 02.24 , 6 Comments

When we were back together

April 2008

Ia membelai pipku perlahan. Aku hanya tersenyum. Melirik matanya sebentar, berusaha tak berlama-lama mentapanya, agar ia tak tahu apa yang ada mengeram di hatiku.. Aku memalingkan wajahku, pura-pura sangat tertarik melihat acara yang sedang tayang di televisi.

“Rana, Sayang….” Katanya sambil membelai pipku dengan buku-buku telunjuknya. Aku tahu ia tersenyum dan menatapku penuh cinta. Aku memasang wajah ‘pura-pura cinta’ terbaikku. You know, senyum lembut, tatapan mata penuh kasih dan ‘mengundang’, lalu menundukkan kepalaku perlahan. Sebagian karena ingin terlihat sebagai istri penuh cinta yang malu-malu, dan sebagian lagi karena tak ingin topeng yang aku kenakan terlihat olehnya.

“Aku pergi dulu, Ya? Kamu ati-ati di rumah.. Jaga Dafa baik-baik.” Katanya sambil tersenyum, Ia lalu menangkup kedua pipiku dengan kedua tangannya. Aku berusaha berpaling. Tapi tangannya menahanku. Tak menyakitiku memang, namun tekannannnya cukup untuk membuat wajahku terpaku padanya. Ia lalu menatap kedua mataku dan tersenyum. Aku memaki dalam hati. Namun berusaha untuk terlihat seperti ‘istri baik dan pasrah’.

Ia lalu mengecupku. Aku memejamkan mataku. Untuknya, aku terlihat seperti benar-benar menikmati ciumannya. Untukku, adalah demi menutupi rasa muakku. Ia mulai menyelipkan lidahnya, aku sudah makin tak tahan. Tapi sedikit saja aku bereaksi, maka ia akan merasakannya. Aku mencoba untuk membendung rasa jengahku. Bagaimanakah caranya saudara-saudara? Yak, dengan membalas ciumannya. Juga sekalian melepaskan amarah dan tekanan. Hmmm.. ia tak akan pernah merasakan amarahku, karena yang ia rasakan adalah ‘how great my kisses are’. Sedetik, 2 detik, 3 detik, 5 detik, 7 detik., 10 detik, 15 detik. Ahh.. akhrirnya ia terengah melepaskanku. Ia memandangku lagi, dan memelukku erat. Tapi tanganku hanya bergantung lemas di kedua sisi tubuhnya.

“Ohhh.. aku pasti bakal kangen banget sama kamu, Sayang. Di Semarang nanti aku pasti bakal kesepiaann, kangen teruus”. Katanya. Aku memutar kedua bola mataku. Aku tak khawatir ia melihatku. Karena kepalaku berada di pundaknya.

“Kamu bakal kangen aku kan, Rana?” tanyanya sambil mendekapku.

“Act normal Rana!! Tahan!!” kataku dalam hati. Kembali aku pasang wajah manis..dengan suara selembut mungkin. Aku melingkarkan tanganku, memeluknya. Lalu berdehem


“Iya..” Jawabku lirih. Lalu aku melepaskan pelukannya. Tersenyum padanya sekilas.


“Nanti kamu ketinggalan kereta.” Kataku perlahan. Ia lalu tersenyum, dan meremas tanganku dengan penuh rasa sayang.

“Aku pergi dulu.” katanya. Aku mengantarnya sampai depan pintu rumah. I melambaikan tangannya dari kejauhan, dan meniupkan kecupn dari jauh. Aku hanya melambai sambil tersenyum.

Begitu ia hilang dari pandangan mata.. aku bergegas ke kamar mandi. Dengan tangan gemetar aku mengambil odol dan sikat gigi. Berkali-kali sikat gigi itu terlepas dari genggaman tanganku yang gemetar.. aku menyikat gigiku keras-keras, berkumur, menuangkan mouthwash dengan gemetar.. sehingga isinya tumpah sebagian, membasahi wastafel. semburat kebiruannya nampak sangat kontras dengan warna putih porselennya.


“OH Shit!!” makiku.. Aku berkumur2 lagi.. berusaha menghilangkan ‘rasa Rega’ dari mulutku.

berkumur sampai mulutku terasa sakit, terasa perih.. tubuhku gemetar menahan tangis. Saaat cairan biru itu mengalir dari tepian bibirku, akupun terduduk..


Dan aku pun menangis tersedu-sedu..

Rabu, Februari 25, 2009 at 20.29 , 7 Comments

The Story Continues

Febuari 2008

Sore hari, di sudut sebuah café. Aku mematut-matut diriku, sambil melihat bayangan ku yang terpantul di dinding seberang. Entah kenapa, hari ini aku sangat ingin terlihat sempurna. Dan ya, itulah bayangan yang kulihat terpantul di kaca, tegar, kuat dan siap menghadapi apapun. Aku tersenyum dengan penuh keyakinan. Lalu aku duduk menyilangkan kaki dengan anggun, dan membaca Sandra Brown terbaru ku.

“Rana..” Tiba-tiba aku dengar seseoang memangil namaku. Aku menahan napas, menghembuskan nya perlahan, dan mempersiapkan senyum terbaikku. Lalu aku mendongak dengan penuh percaya diri .

“Ya?” Kataku tenang. Lalu ku lihat wajahnya. Honestly, he look miserable. Seragam kantornya masih terlihat rapih, dan licin, namun tidak dengan wajahnya. Letih, mata berkantung dan nampak gurat-gurat kelelahan membayang di setiap senti wajahnya.

Ia lalu berusaha tersenyum, tapi yang tampak hanya ringisan terpaksa dan terlihat tak tulus.

“Duduk.” Kataku.

Ia lalu menarik kursi di hadapanku sambil menundukkan kepalanya.

“Gimana kabar kamu?” tanyaku. Ia lalu mendongakkan kepalanya dan menatapku cukup lama sebelum akhirnya menjawab.

“Keliatannya gimana?” Retoris.Bukan jawaban. Lalu ia menatapku dengan ‘tatapan terluka’ terbaiknya. Aku berusaha tak terlihat goyah sedikitpun.

“Dafa gimana?” Tanyanya lagi. Bukan retoris. Jadi harus ku jawab.

“ Baik..” jawabku pendek.

Tiba-tiba dia tampak sangat kesal, dan mengepalkan tangannya di atas meja.

“Please Rana. Jangan main2.. aku sangat tersiksa memikirkan kamu dan Dafa. Aku bingung Rana!! Aku sedih! Aku kesal! Aku benci semua ini! Aku.. Arrggh!!!” Ucapannya menyembur bagaikan keran air yang terbuka penuh. Ia kembali tertunduk.

Aku hanya menatapnya, berusaha tak terlihat terlalu dingin, khawatir amarahnya akan tersulut, dan ia lalu melakukan hal-hal diluar kehendakku.

Tiba-tiba ia mendongak kembali, kali ini dapat kulihat air mata membayang di pelupuk matanya. Ia lalu menatap kedua mataku.

“Aku nggak pengen kita pisah, Rana..Aku sangat mencintai kamu.” Kali ini dengan nada memelas, dan pandangan memelas pula.

Aku menghembuskan nafas keras, dan melipat kedua tanganku di depan dada.

“ Kamu tau sendiri, itu nggak mungkin..” jawabku sambil tersenyum sinis.

“Lalu apa yang harus aku lakukan untuk mempertahankan perkawinan kita?” tanyanya. Keputusasaan mulai tersirat di suaranya. Aku tertawa pendek.

“Bertanggung jawab akan hal-hal yang kamu lakukan, mungkin?” kataku sambil memutar kedua bola mataku ke atas. Sebuah kalimat yang tadinya ditujukan untuk merendahkannya.

“Oke.” Jawabnya pendek. Aku sedikit terkejut, tapi sebisa mungkin menyembunyikan keterkejutanku. Ia menatapku tajam.

“Tunggu aku di rumahmu. Aku akan kesana saat Ibu dan Ayahmu ada di rumah.” Katanya.

----- **---------

Ia duduk di kursi pojok, menghadap Aku, Ayah Ibuku, dan teman kami, Gama. Ia tampak nelangsa.

“Saya.. minta maaf..” Katanya sambil menundukkan kepala.

“Saya khilaf, saya yang melakukan semua itu. Saya benar2 melakukannya. Dan saya benar-benar minta maaf.”

Ibu dan Ayahku nampak terkejut. Setengah tak percaya namun setengah lega tapi juga sedih. Lega karena ternyata memang ia pelaku semuanya, dan tak percaya bahwa ia akhirnya berani mengakuinya. Sedih? well karena tak percaya, ternyata ia begitu tega.

“Saya janji nggak akan ngulangin semuanya.”

---- **----------

Aku terdiam di kamarku. Ibu menghampiriku, dan duduk di sebelahku di atas tempat tidur. Beliau lalu menghembuskan nafas dengan keras.

“Aku bingung,Bu.” Kataku pendek, sambil menatap ke arah jendela. Berusaha mencari jawaban di luar sana. Aku bisa merasakan Ibu menatapku.

“Ibu juga bingung,Na. Tapi, dia kan sudah berniat baik, dan beritikad baik.”

“Tapi, Bu..” kataku sambil menatapnya. Ibu memejamkan mata dan mengangkat tangannya untuk menghentikan ucapanku. Kata-kata tertahan di mulutku. Namun aku hanya bisa menghembuskan nafas kesal.

“Tuhan juga Maha Pemaaf, Na. Masa kamu nggak bisa ngasih dia kesempatan? Siapa tau sekarang dia berubah. Selama ini memeng kamu nggak pernah konfrontasi sebelumnya kan?”

Aku hanya diam. Melipat kedua tanganku di depan dada dan kembali menatap ke luar jendela.

“Aku.. sebenernya udah males, Bu.. I don’t love him anymore..” Kataku sambil mengusap wajah dengan tanganku.

“Rana, saran Ibu, berilah ia kesempatan sampai kamu beres kuliah. Toh dengan begini kamu lebih konsentrasi dengan skripsi kamu. Dan begitu selesai, kamu bisa pergi ke mana pun yang kamu mau.”

Aku menatap wajah Ibuku, ia terlihat sangat letih akan semua ini, dan ingin semua segera berakhir. Sama denganku. Namun logikanya lebih unggul dibandingkan perasaannya. Satu hal yang paling aku kagumi darinya. Ahh Ibu…

“Baiklah.”

(To be continued..)

Sabtu, Februari 21, 2009 at 19.54 , 5 Comments

Lessen the frequency

hemmm...
Saya lagi aga2 bingung nih..
anak saya, 4 th akhir2 ini lagi rada lebih nyaman di rumah neneknya. Klo disana, dya terlihat lebih ceria, feels content, dan ga pernah nanyain his Dad.


Klo saya liatnya dari beberapa faktor..
pertama, ya mungkin karena di rumah Ibu saya, areanya lebih luas, dan dya jadi lebih bisa eksplore
kedua, mungkin juga karena disini masih banyak 'aura his Dad' yang bikin dya masih aga2 sering teringat..

Ah,, nggak kok, saya nggak berniat misahin seorang anak dari ayahnya.
cuman ingin 'membiasakan' dya of living without his Dad.

2 minggu kemaren pernah soalnya..
Pulang nginep dari rumah his Dad, ditinggal bentar aja nangisnya aga sedikit lebay..
eheheh
Wajar lah, kangeun mungkin..
Tapi kasian juga kan klo dya ampe feeling tortured gtu..

Tapi..
Aku peluk,
Alihkan perhatiannya, ajakin maen bentar..
bacain buku...
yah.. reda juga..

Makanya akhernya aku ber-komit ama His Dad..
to lessen the frequency of his visit

ehehhehehhe

untungnya His Dad was being cooperative. (tx Man..)

hmmm.. kira2 langkah yg saya ambil udah tepat belom ya?
tx 4 ur comments..
:P

Senin, Februari 16, 2009 at 01.49 , 6 Comments

Waay Past Midnite

Lepas tengah malam
jauh..

aku pejamkan mataku, dan aku tersenyum.
membayangkan dalam genggaman tangannya.
hangat peluknya..

ahhh..

berharap ia ada disini
bercanda denganku seperti biasa..
bercerita.. tentang harinya

dan bertanya tentang hari ku...

hal sepele
tak terasa penting..
namun manjadi suatu penawar
akan rasa lelah yang dirasakan
seputaran siang sebelumnya

rasa lelah mulai menjalar
membuat nanar kedua mataku
lelah fisik?
atau lelah batin?
ahhhh...

Elang... cepatlah sembuuh :P

Kamis, Februari 12, 2009 at 02.42 , 5 Comments

Is it too obvious?

Ekekkkek... klu ngeliat judul blog saya,
mungkin berbagai persepsi muncul.
Dari yang "wow... single Mom? hebat tuuuh.."
"diiih, single mom aja bangga.. aib tauuuu.."

Hemm gmana yah...
Masing2 orang berhak punya pendapat sih..
mau buruk atao jelek.. ya.. balik lagi ke orangnya masing2..

klo saya sih, klo ada yang mau kasih kritik, silahkaaan..
memuji (ahahha, kayak bakal ada aja ya yang muji..) diterima dengan senang hati..

Nah yang ingin saya tau, apakah fenomena Single parent kaya saya ituh banyak?
FYI, ya.. saya pernah married.. (ehehhe, penting ya?)
dan kadang... walupun secinta apapun kita sama pasangan, kalo ada hal prinsipil yang ga bisa ditolerir, daripada 'nyiksa maneh' istilah Sunda-nya.. mending juga jangan diterusin..
Ibaratnya naek perahu yang udah berlobang gede ditengah..
bagaimanapun kita berusaha buang airnya keluar...
akhirnya malah capek sendiri dan teteup aja sinking..

that's why, I decided to use my salvation jacket, which I had prepared carefully,
and I refused to be drowned..

eits.. no, of coarse I was not and am not a quitter.
the hole in my boat was too big
and salvage was not a resolution..

ehehheheh..

ahhhh.. brangkat gawe dlu.. tar diterusin yaaaaa

*sekedar info: 50% marriage di US, ended up in divorce

Selasa, Februari 10, 2009 at 17.01 , 3 Comments

The beginning

JANUARI 2008

Aku menatatapnya perlahan. Kulihat Ia sedang tersenyum memandangi anak kami yang sedang bermain perosotan di ujung taman. Aku lalu mentutup kedua mataku. Setengah mati berusaha mengumpulkan keberanianku. Ku rasakan kedua telapak tanganku mulai lembab. Deburan jantungku berkejaran. Pelipisku mulai bedenyut, mengirimkan suara bertalu-talu ke telingaku. Tenggorokanku terasa tercekat. Tapi, aku lalu menguatkan diri, dan menyentuh pelan lengannya. Ahh, semoga saja ia tak merasakan tanganku yang gemetar. Ia lalu menolehkan kepalanya ke arahku. Aku menarik nafas perlahan.

“Aku, mau pisah.” Kataku, menatap langsung kedua matanya. Sesuatu yang selama ini selalu aku hindari. Ia tampak terkejut, namun lalu ada tawa membayang di kedua matanya. Ia pun tersenyum.

“Ga usah bercanda deh..” katanya sambil tersenyum, dan berusaha mencubit hidungku. Sesuatu yg sering ia lakukan manakala merasa gemas padaku. Aku menepis tangannya dan berkata dengan nada rendah.

“Aku serius,Ga.” Jawabku tegas. Tangan yg sedapatnya akan mencubit hidungku itu terhenti di udara. Bayang tawa di kedua matanya menghilang. Sekarang yang tersisa hanya kebingungan, dan rasa terkejut yang tak terkira. Ia mengerutkan dahinya, pertanda sedang berpikir keras.

“Kenapa?” tanyanya. Ia memajukan badannya ke arahku. Ia menatap kedua mataku. Berusaha mencari jawaban disana. Aku sebisa mungkin berusaha menahan bulir airmata yang mulai terkumpul id kedua pelupuk mataku. Ahh, aku beruntung ada meja di antra kami berdua, karena apabila tak ada meja itu mungkin aku tak akan punya keberanian untuk mengatakan ini semua, karena ia akan langsung merengkuhku dalam pelukannya, dan membuatku terlena.

Aku memejamkan kedua mataku, dan berusaha untuk memfokuskan pikiranku.

“Aku udah tau semua, Rega. “ Jawabku. Ia nampak kebingungan.

“Ahh, nggak usah pura-pura, Ga.” Lanjutku aku lalu memandang kedua matanya dan tersenyum sinis.

“Kamu kan, penyebab hilangnya barang2 berharga di rumah?” sesaat, ia nampak terperanjat, matanya terbelalak, dan punggungnya Nampak menegang. Tapi hanya sesaat. Hanya beberapa milidetik. Namun itu semua tak pernah luput dari pandanganku. Tiba-tiba ia terlihat marah. Sangat marah. Ahh, sesuatu yang telah kupelajari dari sifatnya selama bertahun-tahun adalah: dia akan menutupi rasa bersalahnya dengan amarah dan itu adalah fase pertama.

“Kamu nuduh aku?” tanyanya ketus. Namun masih dengan nada rendah. Ia melipat kedua tangannya di depn dadanya. Ia menatapku tajam. Sangat tajam. Hal ini lah yang biasanya mengintimidasi aku agar mengikuti segala kemauannya. Aku tak suka perang mulut. Oh.. I’ve been weak and stupid for this whole 4 years.

“Nggak usah bohong,Ga. Aku tau. Selama ini kmu pikir Aku nggak tau, apa?” aku berusaha terdengar setegas mungkin, namun aku tahu, suaraku mulai bergetar. Ia nampak terkesima. Nampak ada sinar kepanikan di kedua matanya. Ia tak pernah menyangka, aku akan berkata seperti ini. Biasanya aku akan mengiyakan kata-katanya, dan memendam rasa kecewaku.

“Aku beneran nggak ngelakuin itu semua, Na. Sumpah, masa kamu nggak percaya sama aku?” kini pungungnya mulai melemas, namun aku masih melihat ada sinar panic membayang di wajahnya. Fase kedua , Saudara-saudara. Bila amarah tak mempan, berbohonglah untuk menutupi kebohongan.

Aku hanya diam. Menatapnya tajam, tanpa mengucapkn sepatah katapun. Nampak tetesan keringat timbul di atas bibirnya.

“Astagfirullah.Bener, Na. Aku sumpah. Sumpah Demi Allah. Aku gak ngelakuin itu semua. Masa kamu nggak percaya sama aku? Matanya terlihat memohon.

Bulir-bulir keraguan mulai membayang di dadaku. Aku bimbang, “Am I doing the right thing?” tanyaku dalam hati. Namun tiba-tiba aku teringat. Fase ketiga. Menggunakan segala cara termasuk nama Tuhan, untuk meyakinkan aku. Sejenak kenyataan ini membangkitkan kembali rasa percaya diriku. Aku hanya menatapnya. Menggelengkan kepalaku perlahan dan tersenyum sinis.

Pathetic.

Kini aku bisa melihat aura panik itu berubah menjadi aura ketakutan. Ia lalu menggenggam tanganku, yang berusaha ku tarik, namun tertahan oleh kekuatannya. Aku meliriknya tajam. Namun ia tampak enggan melepas tanganku.

“Ayo lah, Rana. Mana mungkin aku melakukan itu semua? Percaya deh sama aku. Lagipula, kalau kita pisah, kamu nggak kasian sama Dafa? ” Kembali rasa ragu itu mengisi tepian hatiku. Aku memandang Dafa yang masih asyik bermain. Dafa melambaikan tangannya pada kami sambil tersenyum bahagia. Poor kid. He doesn’t know, pernikahan orang tuanya di ujung tanduk.

Tiba-tiba sesuatu menyadarkan aku. Fase ke-empat, bualan tak mempan, ganti dengan fakta dan logika. Damn, such a predictable liar.

Tiba-tiba aku merasa lelah dengan perang emosional ini. Aku menarik paksa tanganku, dan mengusap wajahku perlahan, berusaha menutupi bulir-bulir yang mulai mengalir di pipiku.

“Terserah kamu mau ngomong apa. Aku capek!!”

Dan aku pun pergi meninggalkannya
.

at 12.55 , 6 Comments

hemm

Ehm.. baru coba bikin blog niih...
nenembean
another racun internet.. ekekkekek

so.. let's see what i can do here..
hmmm
:-?

at 12.31 , 0 Comments