The beginning

JANUARI 2008

Aku menatatapnya perlahan. Kulihat Ia sedang tersenyum memandangi anak kami yang sedang bermain perosotan di ujung taman. Aku lalu mentutup kedua mataku. Setengah mati berusaha mengumpulkan keberanianku. Ku rasakan kedua telapak tanganku mulai lembab. Deburan jantungku berkejaran. Pelipisku mulai bedenyut, mengirimkan suara bertalu-talu ke telingaku. Tenggorokanku terasa tercekat. Tapi, aku lalu menguatkan diri, dan menyentuh pelan lengannya. Ahh, semoga saja ia tak merasakan tanganku yang gemetar. Ia lalu menolehkan kepalanya ke arahku. Aku menarik nafas perlahan.

“Aku, mau pisah.” Kataku, menatap langsung kedua matanya. Sesuatu yang selama ini selalu aku hindari. Ia tampak terkejut, namun lalu ada tawa membayang di kedua matanya. Ia pun tersenyum.

“Ga usah bercanda deh..” katanya sambil tersenyum, dan berusaha mencubit hidungku. Sesuatu yg sering ia lakukan manakala merasa gemas padaku. Aku menepis tangannya dan berkata dengan nada rendah.

“Aku serius,Ga.” Jawabku tegas. Tangan yg sedapatnya akan mencubit hidungku itu terhenti di udara. Bayang tawa di kedua matanya menghilang. Sekarang yang tersisa hanya kebingungan, dan rasa terkejut yang tak terkira. Ia mengerutkan dahinya, pertanda sedang berpikir keras.

“Kenapa?” tanyanya. Ia memajukan badannya ke arahku. Ia menatap kedua mataku. Berusaha mencari jawaban disana. Aku sebisa mungkin berusaha menahan bulir airmata yang mulai terkumpul id kedua pelupuk mataku. Ahh, aku beruntung ada meja di antra kami berdua, karena apabila tak ada meja itu mungkin aku tak akan punya keberanian untuk mengatakan ini semua, karena ia akan langsung merengkuhku dalam pelukannya, dan membuatku terlena.

Aku memejamkan kedua mataku, dan berusaha untuk memfokuskan pikiranku.

“Aku udah tau semua, Rega. “ Jawabku. Ia nampak kebingungan.

“Ahh, nggak usah pura-pura, Ga.” Lanjutku aku lalu memandang kedua matanya dan tersenyum sinis.

“Kamu kan, penyebab hilangnya barang2 berharga di rumah?” sesaat, ia nampak terperanjat, matanya terbelalak, dan punggungnya Nampak menegang. Tapi hanya sesaat. Hanya beberapa milidetik. Namun itu semua tak pernah luput dari pandanganku. Tiba-tiba ia terlihat marah. Sangat marah. Ahh, sesuatu yang telah kupelajari dari sifatnya selama bertahun-tahun adalah: dia akan menutupi rasa bersalahnya dengan amarah dan itu adalah fase pertama.

“Kamu nuduh aku?” tanyanya ketus. Namun masih dengan nada rendah. Ia melipat kedua tangannya di depn dadanya. Ia menatapku tajam. Sangat tajam. Hal ini lah yang biasanya mengintimidasi aku agar mengikuti segala kemauannya. Aku tak suka perang mulut. Oh.. I’ve been weak and stupid for this whole 4 years.

“Nggak usah bohong,Ga. Aku tau. Selama ini kmu pikir Aku nggak tau, apa?” aku berusaha terdengar setegas mungkin, namun aku tahu, suaraku mulai bergetar. Ia nampak terkesima. Nampak ada sinar kepanikan di kedua matanya. Ia tak pernah menyangka, aku akan berkata seperti ini. Biasanya aku akan mengiyakan kata-katanya, dan memendam rasa kecewaku.

“Aku beneran nggak ngelakuin itu semua, Na. Sumpah, masa kamu nggak percaya sama aku?” kini pungungnya mulai melemas, namun aku masih melihat ada sinar panic membayang di wajahnya. Fase kedua , Saudara-saudara. Bila amarah tak mempan, berbohonglah untuk menutupi kebohongan.

Aku hanya diam. Menatapnya tajam, tanpa mengucapkn sepatah katapun. Nampak tetesan keringat timbul di atas bibirnya.

“Astagfirullah.Bener, Na. Aku sumpah. Sumpah Demi Allah. Aku gak ngelakuin itu semua. Masa kamu nggak percaya sama aku? Matanya terlihat memohon.

Bulir-bulir keraguan mulai membayang di dadaku. Aku bimbang, “Am I doing the right thing?” tanyaku dalam hati. Namun tiba-tiba aku teringat. Fase ketiga. Menggunakan segala cara termasuk nama Tuhan, untuk meyakinkan aku. Sejenak kenyataan ini membangkitkan kembali rasa percaya diriku. Aku hanya menatapnya. Menggelengkan kepalaku perlahan dan tersenyum sinis.

Pathetic.

Kini aku bisa melihat aura panik itu berubah menjadi aura ketakutan. Ia lalu menggenggam tanganku, yang berusaha ku tarik, namun tertahan oleh kekuatannya. Aku meliriknya tajam. Namun ia tampak enggan melepas tanganku.

“Ayo lah, Rana. Mana mungkin aku melakukan itu semua? Percaya deh sama aku. Lagipula, kalau kita pisah, kamu nggak kasian sama Dafa? ” Kembali rasa ragu itu mengisi tepian hatiku. Aku memandang Dafa yang masih asyik bermain. Dafa melambaikan tangannya pada kami sambil tersenyum bahagia. Poor kid. He doesn’t know, pernikahan orang tuanya di ujung tanduk.

Tiba-tiba sesuatu menyadarkan aku. Fase ke-empat, bualan tak mempan, ganti dengan fakta dan logika. Damn, such a predictable liar.

Tiba-tiba aku merasa lelah dengan perang emosional ini. Aku menarik paksa tanganku, dan mengusap wajahku perlahan, berusaha menutupi bulir-bulir yang mulai mengalir di pipiku.

“Terserah kamu mau ngomong apa. Aku capek!!”

Dan aku pun pergi meninggalkannya
.

Selasa, Februari 10, 2009 at 12.55

6 Comments to "The beginning"

ehehehhe.
lagi belajar nulis lagi..
tolong koreksi yaaaa tx

asli, keren tulisannya. salam kenal. ditunggu kunjungan baliknya.

heu.............

kasihan Dafa yah ... hiks hiks

Go Rana, go Rana!!! Sok lanjut ke continue-an nyah, setelah the beginning yang mengesankan ini laluuuu..

aahhaha.. makasi2 semuaaaaa..
jadi maluu
:")

adiit, ada kok terusannya.. ehehhe
baca aja nooh

sip2, cerita rana dan gama yang sebelum nikahnya juga doong hehehe..
-bay-