The Story Continues

Febuari 2008

Sore hari, di sudut sebuah café. Aku mematut-matut diriku, sambil melihat bayangan ku yang terpantul di dinding seberang. Entah kenapa, hari ini aku sangat ingin terlihat sempurna. Dan ya, itulah bayangan yang kulihat terpantul di kaca, tegar, kuat dan siap menghadapi apapun. Aku tersenyum dengan penuh keyakinan. Lalu aku duduk menyilangkan kaki dengan anggun, dan membaca Sandra Brown terbaru ku.

“Rana..” Tiba-tiba aku dengar seseoang memangil namaku. Aku menahan napas, menghembuskan nya perlahan, dan mempersiapkan senyum terbaikku. Lalu aku mendongak dengan penuh percaya diri .

“Ya?” Kataku tenang. Lalu ku lihat wajahnya. Honestly, he look miserable. Seragam kantornya masih terlihat rapih, dan licin, namun tidak dengan wajahnya. Letih, mata berkantung dan nampak gurat-gurat kelelahan membayang di setiap senti wajahnya.

Ia lalu berusaha tersenyum, tapi yang tampak hanya ringisan terpaksa dan terlihat tak tulus.

“Duduk.” Kataku.

Ia lalu menarik kursi di hadapanku sambil menundukkan kepalanya.

“Gimana kabar kamu?” tanyaku. Ia lalu mendongakkan kepalanya dan menatapku cukup lama sebelum akhirnya menjawab.

“Keliatannya gimana?” Retoris.Bukan jawaban. Lalu ia menatapku dengan ‘tatapan terluka’ terbaiknya. Aku berusaha tak terlihat goyah sedikitpun.

“Dafa gimana?” Tanyanya lagi. Bukan retoris. Jadi harus ku jawab.

“ Baik..” jawabku pendek.

Tiba-tiba dia tampak sangat kesal, dan mengepalkan tangannya di atas meja.

“Please Rana. Jangan main2.. aku sangat tersiksa memikirkan kamu dan Dafa. Aku bingung Rana!! Aku sedih! Aku kesal! Aku benci semua ini! Aku.. Arrggh!!!” Ucapannya menyembur bagaikan keran air yang terbuka penuh. Ia kembali tertunduk.

Aku hanya menatapnya, berusaha tak terlihat terlalu dingin, khawatir amarahnya akan tersulut, dan ia lalu melakukan hal-hal diluar kehendakku.

Tiba-tiba ia mendongak kembali, kali ini dapat kulihat air mata membayang di pelupuk matanya. Ia lalu menatap kedua mataku.

“Aku nggak pengen kita pisah, Rana..Aku sangat mencintai kamu.” Kali ini dengan nada memelas, dan pandangan memelas pula.

Aku menghembuskan nafas keras, dan melipat kedua tanganku di depan dada.

“ Kamu tau sendiri, itu nggak mungkin..” jawabku sambil tersenyum sinis.

“Lalu apa yang harus aku lakukan untuk mempertahankan perkawinan kita?” tanyanya. Keputusasaan mulai tersirat di suaranya. Aku tertawa pendek.

“Bertanggung jawab akan hal-hal yang kamu lakukan, mungkin?” kataku sambil memutar kedua bola mataku ke atas. Sebuah kalimat yang tadinya ditujukan untuk merendahkannya.

“Oke.” Jawabnya pendek. Aku sedikit terkejut, tapi sebisa mungkin menyembunyikan keterkejutanku. Ia menatapku tajam.

“Tunggu aku di rumahmu. Aku akan kesana saat Ibu dan Ayahmu ada di rumah.” Katanya.

----- **---------

Ia duduk di kursi pojok, menghadap Aku, Ayah Ibuku, dan teman kami, Gama. Ia tampak nelangsa.

“Saya.. minta maaf..” Katanya sambil menundukkan kepala.

“Saya khilaf, saya yang melakukan semua itu. Saya benar2 melakukannya. Dan saya benar-benar minta maaf.”

Ibu dan Ayahku nampak terkejut. Setengah tak percaya namun setengah lega tapi juga sedih. Lega karena ternyata memang ia pelaku semuanya, dan tak percaya bahwa ia akhirnya berani mengakuinya. Sedih? well karena tak percaya, ternyata ia begitu tega.

“Saya janji nggak akan ngulangin semuanya.”

---- **----------

Aku terdiam di kamarku. Ibu menghampiriku, dan duduk di sebelahku di atas tempat tidur. Beliau lalu menghembuskan nafas dengan keras.

“Aku bingung,Bu.” Kataku pendek, sambil menatap ke arah jendela. Berusaha mencari jawaban di luar sana. Aku bisa merasakan Ibu menatapku.

“Ibu juga bingung,Na. Tapi, dia kan sudah berniat baik, dan beritikad baik.”

“Tapi, Bu..” kataku sambil menatapnya. Ibu memejamkan mata dan mengangkat tangannya untuk menghentikan ucapanku. Kata-kata tertahan di mulutku. Namun aku hanya bisa menghembuskan nafas kesal.

“Tuhan juga Maha Pemaaf, Na. Masa kamu nggak bisa ngasih dia kesempatan? Siapa tau sekarang dia berubah. Selama ini memeng kamu nggak pernah konfrontasi sebelumnya kan?”

Aku hanya diam. Melipat kedua tanganku di depan dada dan kembali menatap ke luar jendela.

“Aku.. sebenernya udah males, Bu.. I don’t love him anymore..” Kataku sambil mengusap wajah dengan tanganku.

“Rana, saran Ibu, berilah ia kesempatan sampai kamu beres kuliah. Toh dengan begini kamu lebih konsentrasi dengan skripsi kamu. Dan begitu selesai, kamu bisa pergi ke mana pun yang kamu mau.”

Aku menatap wajah Ibuku, ia terlihat sangat letih akan semua ini, dan ingin semua segera berakhir. Sama denganku. Namun logikanya lebih unggul dibandingkan perasaannya. Satu hal yang paling aku kagumi darinya. Ahh Ibu…

“Baiklah.”

(To be continued..)

Sabtu, Februari 21, 2009 at 19.54

5 Comments to "The Story Continues"

wah crita belum tamat, comennya jg kyanya ngga tamat hehe, bgus2 teruskan, ceritanya terasa singkat heu2 tapi terbayang. judes ini rana heu2.
-bay-

Aku banci semua ini!

salah ketik tuh... benerin...
dhini pikir seharusnya kita emang lebih berpikir dengan logika dan ga terlalu nurut sama hati kita...

mampir lagi. kemarin gak bisa komeng.

sedapat mungkin (kalo bisa) balik lagi demi si kecil. tapi....susah juga ya kalo sudah tak cinta. yg terbaik saja deh mbak...