Ia membelai pipku perlahan. Aku hanya tersenyum. Melirik matanya sebentar, berusaha tak berlama-lama mentapanya, agar ia tak tahu apa yang ada mengeram di hatiku.. Aku memalingkan wajahku, pura-pura sangat tertarik melihat acara yang sedang tayang di televisi.
“Rana, Sayang….” Katanya sambil membelai pipku dengan buku-buku telunjuknya. Aku tahu ia tersenyum dan menatapku penuh cinta. Aku memasang wajah ‘pura-pura cinta’ terbaikku. You know, senyum lembut, tatapan mata penuh kasih dan ‘mengundang’, lalu menundukkan kepalaku perlahan. Sebagian karena ingin terlihat sebagai istri penuh cinta yang malu-malu, dan sebagian lagi karena tak ingin topeng yang aku kenakan terlihat olehnya.
“Aku pergi dulu, Ya? Kamu ati-ati di rumah.. Jaga Dafa baik-baik.” Katanya sambil tersenyum, Ia lalu menangkup kedua pipiku dengan kedua tangannya. Aku berusaha berpaling. Tapi tangannya menahanku. Tak menyakitiku memang, namun tekannannnya cukup untuk membuat wajahku terpaku padanya. Ia lalu menatap kedua mataku dan tersenyum. Aku memaki dalam hati. Namun berusaha untuk terlihat seperti ‘istri baik dan pasrah’.
Ia lalu mengecupku. Aku memejamkan mataku. Untuknya, aku terlihat seperti benar-benar menikmati ciumannya. Untukku, adalah demi menutupi rasa muakku. Ia mulai menyelipkan lidahnya, aku sudah makin tak tahan. Tapi sedikit saja aku bereaksi, maka ia akan merasakannya. Aku mencoba untuk membendung rasa jengahku. Bagaimanakah caranya saudara-saudara? Yak, dengan membalas ciumannya. Juga sekalian melepaskan amarah dan tekanan. Hmmm.. ia tak akan pernah merasakan amarahku, karena yang ia rasakan adalah ‘how great my kisses are’. Sedetik, 2 detik, 3 detik, 5 detik, 7 detik., 10 detik, 15 detik. Ahh.. akhrirnya ia terengah melepaskanku. Ia memandangku lagi, dan memelukku erat. Tapi tanganku hanya bergantung lemas di kedua sisi tubuhnya.
“Ohhh.. aku pasti bakal kangen banget sama kamu, Sayang. Di Semarang nanti aku pasti bakal kesepiaann, kangen teruus”. Katanya. Aku memutar kedua bola mataku. Aku tak khawatir ia melihatku. Karena kepalaku berada di pundaknya.
“Kamu bakal kangen aku kan, Rana?” tanyanya sambil mendekapku.
“Act normal Rana!! Tahan!!” kataku dalam hati. Kembali aku pasang wajah manis..dengan suara selembut mungkin. Aku melingkarkan tanganku, memeluknya. Lalu berdehem
“Iya..” Jawabku lirih. Lalu aku melepaskan pelukannya. Tersenyum padanya sekilas.
“Nanti kamu ketinggalan kereta.” Kataku perlahan. Ia lalu tersenyum, dan meremas tanganku dengan penuh rasa sayang.
“Aku pergi dulu.” katanya. Aku mengantarnya sampai depan pintu rumah. I melambaikan tangannya dari kejauhan, dan meniupkan kecupn dari jauh. Aku hanya melambai sambil tersenyum.
Begitu ia hilang dari pandangan mata.. aku bergegas ke kamar mandi. Dengan tangan gemetar aku mengambil odol dan sikat gigi. Berkali-kali sikat gigi itu terlepas dari genggaman tanganku yang gemetar.. aku menyikat gigiku keras-keras, berkumur, menuangkan mouthwash dengan gemetar.. sehingga isinya tumpah sebagian, membasahi wastafel. semburat kebiruannya nampak sangat kontras dengan warna putih porselennya.
“OH Shit!!” makiku.. Aku berkumur2 lagi.. berusaha menghilangkan ‘rasa Rega’ dari mulutku.
berkumur sampai mulutku terasa sakit, terasa perih.. tubuhku gemetar menahan tangis. Saaat cairan biru itu mengalir dari tepian bibirku, akupun terduduk..
Dan aku pun menangis tersedu-sedu..
7 Comments to "When we were back together"