When we were back together

April 2008

Ia membelai pipku perlahan. Aku hanya tersenyum. Melirik matanya sebentar, berusaha tak berlama-lama mentapanya, agar ia tak tahu apa yang ada mengeram di hatiku.. Aku memalingkan wajahku, pura-pura sangat tertarik melihat acara yang sedang tayang di televisi.

“Rana, Sayang….” Katanya sambil membelai pipku dengan buku-buku telunjuknya. Aku tahu ia tersenyum dan menatapku penuh cinta. Aku memasang wajah ‘pura-pura cinta’ terbaikku. You know, senyum lembut, tatapan mata penuh kasih dan ‘mengundang’, lalu menundukkan kepalaku perlahan. Sebagian karena ingin terlihat sebagai istri penuh cinta yang malu-malu, dan sebagian lagi karena tak ingin topeng yang aku kenakan terlihat olehnya.

“Aku pergi dulu, Ya? Kamu ati-ati di rumah.. Jaga Dafa baik-baik.” Katanya sambil tersenyum, Ia lalu menangkup kedua pipiku dengan kedua tangannya. Aku berusaha berpaling. Tapi tangannya menahanku. Tak menyakitiku memang, namun tekannannnya cukup untuk membuat wajahku terpaku padanya. Ia lalu menatap kedua mataku dan tersenyum. Aku memaki dalam hati. Namun berusaha untuk terlihat seperti ‘istri baik dan pasrah’.

Ia lalu mengecupku. Aku memejamkan mataku. Untuknya, aku terlihat seperti benar-benar menikmati ciumannya. Untukku, adalah demi menutupi rasa muakku. Ia mulai menyelipkan lidahnya, aku sudah makin tak tahan. Tapi sedikit saja aku bereaksi, maka ia akan merasakannya. Aku mencoba untuk membendung rasa jengahku. Bagaimanakah caranya saudara-saudara? Yak, dengan membalas ciumannya. Juga sekalian melepaskan amarah dan tekanan. Hmmm.. ia tak akan pernah merasakan amarahku, karena yang ia rasakan adalah ‘how great my kisses are’. Sedetik, 2 detik, 3 detik, 5 detik, 7 detik., 10 detik, 15 detik. Ahh.. akhrirnya ia terengah melepaskanku. Ia memandangku lagi, dan memelukku erat. Tapi tanganku hanya bergantung lemas di kedua sisi tubuhnya.

“Ohhh.. aku pasti bakal kangen banget sama kamu, Sayang. Di Semarang nanti aku pasti bakal kesepiaann, kangen teruus”. Katanya. Aku memutar kedua bola mataku. Aku tak khawatir ia melihatku. Karena kepalaku berada di pundaknya.

“Kamu bakal kangen aku kan, Rana?” tanyanya sambil mendekapku.

“Act normal Rana!! Tahan!!” kataku dalam hati. Kembali aku pasang wajah manis..dengan suara selembut mungkin. Aku melingkarkan tanganku, memeluknya. Lalu berdehem


“Iya..” Jawabku lirih. Lalu aku melepaskan pelukannya. Tersenyum padanya sekilas.


“Nanti kamu ketinggalan kereta.” Kataku perlahan. Ia lalu tersenyum, dan meremas tanganku dengan penuh rasa sayang.

“Aku pergi dulu.” katanya. Aku mengantarnya sampai depan pintu rumah. I melambaikan tangannya dari kejauhan, dan meniupkan kecupn dari jauh. Aku hanya melambai sambil tersenyum.

Begitu ia hilang dari pandangan mata.. aku bergegas ke kamar mandi. Dengan tangan gemetar aku mengambil odol dan sikat gigi. Berkali-kali sikat gigi itu terlepas dari genggaman tanganku yang gemetar.. aku menyikat gigiku keras-keras, berkumur, menuangkan mouthwash dengan gemetar.. sehingga isinya tumpah sebagian, membasahi wastafel. semburat kebiruannya nampak sangat kontras dengan warna putih porselennya.


“OH Shit!!” makiku.. Aku berkumur2 lagi.. berusaha menghilangkan ‘rasa Rega’ dari mulutku.

berkumur sampai mulutku terasa sakit, terasa perih.. tubuhku gemetar menahan tangis. Saaat cairan biru itu mengalir dari tepian bibirku, akupun terduduk..


Dan aku pun menangis tersedu-sedu..

Rabu, Februari 25, 2009 at 20.29 , 7 Comments

The Story Continues

Febuari 2008

Sore hari, di sudut sebuah café. Aku mematut-matut diriku, sambil melihat bayangan ku yang terpantul di dinding seberang. Entah kenapa, hari ini aku sangat ingin terlihat sempurna. Dan ya, itulah bayangan yang kulihat terpantul di kaca, tegar, kuat dan siap menghadapi apapun. Aku tersenyum dengan penuh keyakinan. Lalu aku duduk menyilangkan kaki dengan anggun, dan membaca Sandra Brown terbaru ku.

“Rana..” Tiba-tiba aku dengar seseoang memangil namaku. Aku menahan napas, menghembuskan nya perlahan, dan mempersiapkan senyum terbaikku. Lalu aku mendongak dengan penuh percaya diri .

“Ya?” Kataku tenang. Lalu ku lihat wajahnya. Honestly, he look miserable. Seragam kantornya masih terlihat rapih, dan licin, namun tidak dengan wajahnya. Letih, mata berkantung dan nampak gurat-gurat kelelahan membayang di setiap senti wajahnya.

Ia lalu berusaha tersenyum, tapi yang tampak hanya ringisan terpaksa dan terlihat tak tulus.

“Duduk.” Kataku.

Ia lalu menarik kursi di hadapanku sambil menundukkan kepalanya.

“Gimana kabar kamu?” tanyaku. Ia lalu mendongakkan kepalanya dan menatapku cukup lama sebelum akhirnya menjawab.

“Keliatannya gimana?” Retoris.Bukan jawaban. Lalu ia menatapku dengan ‘tatapan terluka’ terbaiknya. Aku berusaha tak terlihat goyah sedikitpun.

“Dafa gimana?” Tanyanya lagi. Bukan retoris. Jadi harus ku jawab.

“ Baik..” jawabku pendek.

Tiba-tiba dia tampak sangat kesal, dan mengepalkan tangannya di atas meja.

“Please Rana. Jangan main2.. aku sangat tersiksa memikirkan kamu dan Dafa. Aku bingung Rana!! Aku sedih! Aku kesal! Aku benci semua ini! Aku.. Arrggh!!!” Ucapannya menyembur bagaikan keran air yang terbuka penuh. Ia kembali tertunduk.

Aku hanya menatapnya, berusaha tak terlihat terlalu dingin, khawatir amarahnya akan tersulut, dan ia lalu melakukan hal-hal diluar kehendakku.

Tiba-tiba ia mendongak kembali, kali ini dapat kulihat air mata membayang di pelupuk matanya. Ia lalu menatap kedua mataku.

“Aku nggak pengen kita pisah, Rana..Aku sangat mencintai kamu.” Kali ini dengan nada memelas, dan pandangan memelas pula.

Aku menghembuskan nafas keras, dan melipat kedua tanganku di depan dada.

“ Kamu tau sendiri, itu nggak mungkin..” jawabku sambil tersenyum sinis.

“Lalu apa yang harus aku lakukan untuk mempertahankan perkawinan kita?” tanyanya. Keputusasaan mulai tersirat di suaranya. Aku tertawa pendek.

“Bertanggung jawab akan hal-hal yang kamu lakukan, mungkin?” kataku sambil memutar kedua bola mataku ke atas. Sebuah kalimat yang tadinya ditujukan untuk merendahkannya.

“Oke.” Jawabnya pendek. Aku sedikit terkejut, tapi sebisa mungkin menyembunyikan keterkejutanku. Ia menatapku tajam.

“Tunggu aku di rumahmu. Aku akan kesana saat Ibu dan Ayahmu ada di rumah.” Katanya.

----- **---------

Ia duduk di kursi pojok, menghadap Aku, Ayah Ibuku, dan teman kami, Gama. Ia tampak nelangsa.

“Saya.. minta maaf..” Katanya sambil menundukkan kepala.

“Saya khilaf, saya yang melakukan semua itu. Saya benar2 melakukannya. Dan saya benar-benar minta maaf.”

Ibu dan Ayahku nampak terkejut. Setengah tak percaya namun setengah lega tapi juga sedih. Lega karena ternyata memang ia pelaku semuanya, dan tak percaya bahwa ia akhirnya berani mengakuinya. Sedih? well karena tak percaya, ternyata ia begitu tega.

“Saya janji nggak akan ngulangin semuanya.”

---- **----------

Aku terdiam di kamarku. Ibu menghampiriku, dan duduk di sebelahku di atas tempat tidur. Beliau lalu menghembuskan nafas dengan keras.

“Aku bingung,Bu.” Kataku pendek, sambil menatap ke arah jendela. Berusaha mencari jawaban di luar sana. Aku bisa merasakan Ibu menatapku.

“Ibu juga bingung,Na. Tapi, dia kan sudah berniat baik, dan beritikad baik.”

“Tapi, Bu..” kataku sambil menatapnya. Ibu memejamkan mata dan mengangkat tangannya untuk menghentikan ucapanku. Kata-kata tertahan di mulutku. Namun aku hanya bisa menghembuskan nafas kesal.

“Tuhan juga Maha Pemaaf, Na. Masa kamu nggak bisa ngasih dia kesempatan? Siapa tau sekarang dia berubah. Selama ini memeng kamu nggak pernah konfrontasi sebelumnya kan?”

Aku hanya diam. Melipat kedua tanganku di depan dada dan kembali menatap ke luar jendela.

“Aku.. sebenernya udah males, Bu.. I don’t love him anymore..” Kataku sambil mengusap wajah dengan tanganku.

“Rana, saran Ibu, berilah ia kesempatan sampai kamu beres kuliah. Toh dengan begini kamu lebih konsentrasi dengan skripsi kamu. Dan begitu selesai, kamu bisa pergi ke mana pun yang kamu mau.”

Aku menatap wajah Ibuku, ia terlihat sangat letih akan semua ini, dan ingin semua segera berakhir. Sama denganku. Namun logikanya lebih unggul dibandingkan perasaannya. Satu hal yang paling aku kagumi darinya. Ahh Ibu…

“Baiklah.”

(To be continued..)

Sabtu, Februari 21, 2009 at 19.54 , 5 Comments

Lessen the frequency

hemmm...
Saya lagi aga2 bingung nih..
anak saya, 4 th akhir2 ini lagi rada lebih nyaman di rumah neneknya. Klo disana, dya terlihat lebih ceria, feels content, dan ga pernah nanyain his Dad.


Klo saya liatnya dari beberapa faktor..
pertama, ya mungkin karena di rumah Ibu saya, areanya lebih luas, dan dya jadi lebih bisa eksplore
kedua, mungkin juga karena disini masih banyak 'aura his Dad' yang bikin dya masih aga2 sering teringat..

Ah,, nggak kok, saya nggak berniat misahin seorang anak dari ayahnya.
cuman ingin 'membiasakan' dya of living without his Dad.

2 minggu kemaren pernah soalnya..
Pulang nginep dari rumah his Dad, ditinggal bentar aja nangisnya aga sedikit lebay..
eheheh
Wajar lah, kangeun mungkin..
Tapi kasian juga kan klo dya ampe feeling tortured gtu..

Tapi..
Aku peluk,
Alihkan perhatiannya, ajakin maen bentar..
bacain buku...
yah.. reda juga..

Makanya akhernya aku ber-komit ama His Dad..
to lessen the frequency of his visit

ehehhehehhe

untungnya His Dad was being cooperative. (tx Man..)

hmmm.. kira2 langkah yg saya ambil udah tepat belom ya?
tx 4 ur comments..
:P

Senin, Februari 16, 2009 at 01.49 , 6 Comments

Waay Past Midnite

Lepas tengah malam
jauh..

aku pejamkan mataku, dan aku tersenyum.
membayangkan dalam genggaman tangannya.
hangat peluknya..

ahhh..

berharap ia ada disini
bercanda denganku seperti biasa..
bercerita.. tentang harinya

dan bertanya tentang hari ku...

hal sepele
tak terasa penting..
namun manjadi suatu penawar
akan rasa lelah yang dirasakan
seputaran siang sebelumnya

rasa lelah mulai menjalar
membuat nanar kedua mataku
lelah fisik?
atau lelah batin?
ahhhh...

Elang... cepatlah sembuuh :P

Kamis, Februari 12, 2009 at 02.42 , 5 Comments

Is it too obvious?

Ekekkkek... klu ngeliat judul blog saya,
mungkin berbagai persepsi muncul.
Dari yang "wow... single Mom? hebat tuuuh.."
"diiih, single mom aja bangga.. aib tauuuu.."

Hemm gmana yah...
Masing2 orang berhak punya pendapat sih..
mau buruk atao jelek.. ya.. balik lagi ke orangnya masing2..

klo saya sih, klo ada yang mau kasih kritik, silahkaaan..
memuji (ahahha, kayak bakal ada aja ya yang muji..) diterima dengan senang hati..

Nah yang ingin saya tau, apakah fenomena Single parent kaya saya ituh banyak?
FYI, ya.. saya pernah married.. (ehehhe, penting ya?)
dan kadang... walupun secinta apapun kita sama pasangan, kalo ada hal prinsipil yang ga bisa ditolerir, daripada 'nyiksa maneh' istilah Sunda-nya.. mending juga jangan diterusin..
Ibaratnya naek perahu yang udah berlobang gede ditengah..
bagaimanapun kita berusaha buang airnya keluar...
akhirnya malah capek sendiri dan teteup aja sinking..

that's why, I decided to use my salvation jacket, which I had prepared carefully,
and I refused to be drowned..

eits.. no, of coarse I was not and am not a quitter.
the hole in my boat was too big
and salvage was not a resolution..

ehehheheh..

ahhhh.. brangkat gawe dlu.. tar diterusin yaaaaa

*sekedar info: 50% marriage di US, ended up in divorce

Selasa, Februari 10, 2009 at 17.01 , 3 Comments

The beginning

JANUARI 2008

Aku menatatapnya perlahan. Kulihat Ia sedang tersenyum memandangi anak kami yang sedang bermain perosotan di ujung taman. Aku lalu mentutup kedua mataku. Setengah mati berusaha mengumpulkan keberanianku. Ku rasakan kedua telapak tanganku mulai lembab. Deburan jantungku berkejaran. Pelipisku mulai bedenyut, mengirimkan suara bertalu-talu ke telingaku. Tenggorokanku terasa tercekat. Tapi, aku lalu menguatkan diri, dan menyentuh pelan lengannya. Ahh, semoga saja ia tak merasakan tanganku yang gemetar. Ia lalu menolehkan kepalanya ke arahku. Aku menarik nafas perlahan.

“Aku, mau pisah.” Kataku, menatap langsung kedua matanya. Sesuatu yang selama ini selalu aku hindari. Ia tampak terkejut, namun lalu ada tawa membayang di kedua matanya. Ia pun tersenyum.

“Ga usah bercanda deh..” katanya sambil tersenyum, dan berusaha mencubit hidungku. Sesuatu yg sering ia lakukan manakala merasa gemas padaku. Aku menepis tangannya dan berkata dengan nada rendah.

“Aku serius,Ga.” Jawabku tegas. Tangan yg sedapatnya akan mencubit hidungku itu terhenti di udara. Bayang tawa di kedua matanya menghilang. Sekarang yang tersisa hanya kebingungan, dan rasa terkejut yang tak terkira. Ia mengerutkan dahinya, pertanda sedang berpikir keras.

“Kenapa?” tanyanya. Ia memajukan badannya ke arahku. Ia menatap kedua mataku. Berusaha mencari jawaban disana. Aku sebisa mungkin berusaha menahan bulir airmata yang mulai terkumpul id kedua pelupuk mataku. Ahh, aku beruntung ada meja di antra kami berdua, karena apabila tak ada meja itu mungkin aku tak akan punya keberanian untuk mengatakan ini semua, karena ia akan langsung merengkuhku dalam pelukannya, dan membuatku terlena.

Aku memejamkan kedua mataku, dan berusaha untuk memfokuskan pikiranku.

“Aku udah tau semua, Rega. “ Jawabku. Ia nampak kebingungan.

“Ahh, nggak usah pura-pura, Ga.” Lanjutku aku lalu memandang kedua matanya dan tersenyum sinis.

“Kamu kan, penyebab hilangnya barang2 berharga di rumah?” sesaat, ia nampak terperanjat, matanya terbelalak, dan punggungnya Nampak menegang. Tapi hanya sesaat. Hanya beberapa milidetik. Namun itu semua tak pernah luput dari pandanganku. Tiba-tiba ia terlihat marah. Sangat marah. Ahh, sesuatu yang telah kupelajari dari sifatnya selama bertahun-tahun adalah: dia akan menutupi rasa bersalahnya dengan amarah dan itu adalah fase pertama.

“Kamu nuduh aku?” tanyanya ketus. Namun masih dengan nada rendah. Ia melipat kedua tangannya di depn dadanya. Ia menatapku tajam. Sangat tajam. Hal ini lah yang biasanya mengintimidasi aku agar mengikuti segala kemauannya. Aku tak suka perang mulut. Oh.. I’ve been weak and stupid for this whole 4 years.

“Nggak usah bohong,Ga. Aku tau. Selama ini kmu pikir Aku nggak tau, apa?” aku berusaha terdengar setegas mungkin, namun aku tahu, suaraku mulai bergetar. Ia nampak terkesima. Nampak ada sinar kepanikan di kedua matanya. Ia tak pernah menyangka, aku akan berkata seperti ini. Biasanya aku akan mengiyakan kata-katanya, dan memendam rasa kecewaku.

“Aku beneran nggak ngelakuin itu semua, Na. Sumpah, masa kamu nggak percaya sama aku?” kini pungungnya mulai melemas, namun aku masih melihat ada sinar panic membayang di wajahnya. Fase kedua , Saudara-saudara. Bila amarah tak mempan, berbohonglah untuk menutupi kebohongan.

Aku hanya diam. Menatapnya tajam, tanpa mengucapkn sepatah katapun. Nampak tetesan keringat timbul di atas bibirnya.

“Astagfirullah.Bener, Na. Aku sumpah. Sumpah Demi Allah. Aku gak ngelakuin itu semua. Masa kamu nggak percaya sama aku? Matanya terlihat memohon.

Bulir-bulir keraguan mulai membayang di dadaku. Aku bimbang, “Am I doing the right thing?” tanyaku dalam hati. Namun tiba-tiba aku teringat. Fase ketiga. Menggunakan segala cara termasuk nama Tuhan, untuk meyakinkan aku. Sejenak kenyataan ini membangkitkan kembali rasa percaya diriku. Aku hanya menatapnya. Menggelengkan kepalaku perlahan dan tersenyum sinis.

Pathetic.

Kini aku bisa melihat aura panik itu berubah menjadi aura ketakutan. Ia lalu menggenggam tanganku, yang berusaha ku tarik, namun tertahan oleh kekuatannya. Aku meliriknya tajam. Namun ia tampak enggan melepas tanganku.

“Ayo lah, Rana. Mana mungkin aku melakukan itu semua? Percaya deh sama aku. Lagipula, kalau kita pisah, kamu nggak kasian sama Dafa? ” Kembali rasa ragu itu mengisi tepian hatiku. Aku memandang Dafa yang masih asyik bermain. Dafa melambaikan tangannya pada kami sambil tersenyum bahagia. Poor kid. He doesn’t know, pernikahan orang tuanya di ujung tanduk.

Tiba-tiba sesuatu menyadarkan aku. Fase ke-empat, bualan tak mempan, ganti dengan fakta dan logika. Damn, such a predictable liar.

Tiba-tiba aku merasa lelah dengan perang emosional ini. Aku menarik paksa tanganku, dan mengusap wajahku perlahan, berusaha menutupi bulir-bulir yang mulai mengalir di pipiku.

“Terserah kamu mau ngomong apa. Aku capek!!”

Dan aku pun pergi meninggalkannya
.

at 12.55 , 6 Comments

hemm

Ehm.. baru coba bikin blog niih...
nenembean
another racun internet.. ekekkekek

so.. let's see what i can do here..
hmmm
:-?

at 12.31 , 0 Comments