Senja di atas bukit

Senja itu, di atas bukit. Matahari hampir tak tampak sinarnya. Angin yeng meniup perlahan, kerlap kerlip lampu kota di kejauhan, dan udara yang dingin menggigit. Kakiku membeku, tersengat dingin air di kamar mandi. Aku lalu menghampirinya, dan duduk di sebelahnya.

"Dingin." Gumamku sambil mengusap telapak kakiku yang pucat. Ia lalu meraih kaki ku perlahan.

Aku menatapnya dan tersenyum. Sengatan dingin di kakiku perlahan hilang. Ia mengusapnya dengan tangan besarnya. Ia balas tersenyum menatapku. Bukan hanya usapannya yang membuat gigil itu hilang, tapi tatapannya padaku.

“Thanks” kataku. Ia hanya tersenyum.

Lalu kisah dan kata diceritakan.. kadang disela dengan tawa. Hatiku menghangat di setiap tatapannya, setiap senyuman dan setiap kata-kata yang terucap. Ditemani oleh makan malam yang lezat.. ahhh.. betapa nikmatnya….

Sesaat ku hirup hangatnya kopi susu. Menambah nikmatnya malam itu..Ku mainkan jemariku di antara jemarinya, kadang ku usap lembut rambut-rambut nakal yang mencuat di pipinya. His 2-day beard.. terasa kasar di jemariku.. tapi sensasinya menyenangkan ku… ‘feels manly’..

Mi querido...

“Jadi..” katanya sambil mengenggam tanganku..

“Ke mana ujungnya kita?” lanjutnya. Aku hanya menatapnya, pura-pura marah dan hanya bisa berkata.. “Oh shut Up!!”.

Ia tertawa renyah.. dan aku tersenyum. Memang aneh.. kami merasakan perasaan yang sama.. saling menemukan kecocokan, saling mengisi, saling mengagumi, dan saling merindukan.. namun kami punya banyak hal lain yang harus kami pikirkan, untuk melangkah lebih jauh. . Ibarat sebuah perahu kecil.. yang ingin melintasi danau yang besar.

Lalu kesunyian melingkupi kami. Bukan kesunyian yang mencekam, namun kesunyian dimana masing-masing saling menikmati keberadaan, menikmati suasana, meresapi rasa yang sama-sama kami rasakan. Angin berhembus perlahan. Kelap kelip lampu kota di bawah kami, serasa menambah indah momen tak terlupakan ini.

“I’ve told my mum..” Katanya, di antara kepulan rokoknya. Kedua matanya menerawang . Aku membelalak kaget, namun tersenyum.

“Lalu?” Tanyaku. Jantungku berloncatan. Tak sabar menanti jawabnya. Dia tampak sedang berpikir. Mencoba merangkai kata-kata.

“Emm.. kamu tau sendiri, mungkin….” Katanya. Ia menoleh dan menatapku. Aku menangkap tatapannya, dan memandang kearah lain. Menerawang.

“Yeah.. kalau anak laki-lakiku dekat dengan seorang janda, aku pun akan menyarankan tuk ‘mencari yang masih perawan’..” Kataku. Bibirku tersenyum, namun hatiku…

“So, what did she say?” Tanyaku. Perih hatiku mulai terasa, bagai seutas tali tipis menggores di hatiku.

“Well, she was…. Silent. Diem.” Katanya . Aku tersenyum menatapnya. Ia tak tahu.. hatiku sudah mulai tersayat.

“Hmmm.. salah approach kali, Hon.. harusnya sebutin dulu kelebihan-kelebihan Akuu.” Kataku. Aku tertawa ringan, berusaha menyembunyikan galau di hatiku. Aku meremas jemarinya..

“Udah…” Katanya. “Tapi tetep, pas aku keluarin statement itu.. beliau langsung diem.” Lanjutnya.

“Ow.. and I’ve told my brother too..” Katanya lagi. Jantungku semakin tak keruan detaknya.

“And then?” tanyaku.berusaha menenangkan degub yang berkejaran di dadaku. Ia mengangkat bahu…

“Kakakku bilang….. ‘why not try to find someone else first? Dia pernah gagal, bagaimna kalu nanti kamu gagal juga?’…” Lanjutnya. Ahh.. sayatan lagi di hatiku.

“Tapi Hon.. aku cuma bilang gini...‘Gimana klo setelah mencari ternyata nggak ada yang lebih baik dari dia?, atau ternyata, ujung-ujungnya ya sama dia?’” katanya lagi. Sedikit aliran kesejukan mengaliri sayatan-sayatan di hati.

“Hmm..” Gumamku perlahan. Aku menangis dalam hati… Jika aku bisa memilih, tentunya aku tak ingin jadi seorang Janda.. apalagi di usia semuda ini. Namun aku telah memilih. Memilih tuk pergi dari ketidak jujuran dalam bahtera yang kuarungi dulu. Memilih untuk berhenti tersiksa. Memilih untuk berhenti di tindas. Memilih untuk pergi dari seseorang yang menyeretku ke lembah penderitaan. Ahh…

Aku tahu, pilihanku penuh dengan konsekuensi. Konsekuensi yang dalam beberapa hal aku sangat siap menghadapinya. Segala beban hidup yamg harus ku tanggung, kesendirian yang kulewati tiap malam, trauma berat yang kualami akibat segala perbuatan mantan suamiku, dan merahnya telinga akibat menjadi bahan gunjingan orang lain, semua aku hadapi dengan dagu terangkat dan tekad yang penuh semangat. Tapi ada juga konsekuensi yang hatiku masih belum siap tuk hadapi. Aku terbiasa diterima di segala kalangan, dari mulai anak kecil sampai Orang tua.. mungkin karena sifatku yang mudah akrab dengan orang lain.. ‘penolakan halus’-yang walupun belum final-dari keluarganya sedikit mengguncang hatiku.. Aku tersenyum pedih dalam hati.

“Sabar Rana. Manusia iu lebih mulia dalam sakitnya sabar. Lagi pula, kamu belum pernah bertemu mereka. Mungkin setelah bertemu, mereka justru akan menyayangimu dan Dafa.” Kataku dalam hati.

Ia mengusap jemariku perlahan. Kepedihan dalam hatiku berangsur pudar. Aku menghela napas. Aku terenyum lagi.. memandangnya… Ia yang selalu ada untukku, selalu mendengarkan keluh kesahku, mendukungku, bahkan meminjamkan punggungnya untuk ku tumpahkan air mata. Aku mengenalnya belum terlalu lama.. namun terasa seperti telah mengenalnya bertahun-tahun. Aku kagum akan kecerdasannya, segala tutur katanya yang indah, pribadinya, kerasnya hidup yang telah ia lewati dan kedewasaanya. Sikapnya yang selalu santun, dan tak pernah memanfaatkan kesempatan maupun statusku sebagai seorang Janda. Ia selalu bisa tahu apa yang berkelebat di hatiku, tanpa aku katakan padanya. Ia selalu menghiburku kala ku resah, selalu bisa membuatku terbahak dengan segala ceritanya, serta menenangkanku saat aku gundah. Aku belajar banyak hal darinya dan menjadi kuat karenanya. Aku merasa nyaman berada di dekatnya, terheran-heran akan banyak kesamaan yang kami miliki.

Setelah pernah gagal, aku lebih selektif dalam berhubungan dengan para pria. Aku telah banyak menemui banyak pria, banyak berusaha mengenal mereka, bahkan menerima ajakan ‘hangout’ dari pria yang menurutku ‘lulus seleksi’dan tidak berniat ‘aneh’ terhadapku. Namun entah mengapa, tak ada yang bisa membuatku senyaman pria aneh yang ada di depanku ini. Segala yang kami lalui nampak seperti air.. mengalir perlahan, dan meninggalkan jejak mendalam di setiap alirannya. Yang kurasa..Ia seperti seseorang, darimana rusukku berasal…

Ia memang tak sempurna, seperti layaknya manusia lainnya. Namun ketidaksempurnaanya hanya membuatnya makin sempurna di mataku.

Sering aku berusaha menahan rasa ini. Menahan rindu. Takut semuanya seperti yang kualami dengan mantan suamiku. Namun ada hal-hal dalam dirinya yang meyakinkan ku, bahwa aku akan baik-baik saja di tangannya.

“Hei..” katanya. Sesaat aku tersadar dari lamunan dan pikiran di benakku. Aku kembali tersenyum padanya. Ia mengusap pipiku, aku merasakaan getaran itu, dan menikmati sensasi kupu-kupu yang beterbangan di perutku. Aku tersenyum dalam hati.. setelah mengenalku sekian lama, dan seringnya kami pergi bersama, baru kali ini ia menyentuh pipiku.. aku benar-benar salut akan ketahanannya. Kebanyakan pria bila dalam suasana seromantis ini, cenderung akan mencium pasangannya atau bahkan ‘bergerilya’ dengan tangan mereka. Tapi Ia? Ia tak menyembunyikan betapa ia ingin meraihku dalam peluknya, namun ia tak melakukannya. Ia sangat menghargaiku. Inilah salah satu alasan mengapa aku merasa aman didekatnya. Aku tahu, manusia pun punya batas kesabaran, namun aku yakin dan percaya sepenuhnya padanya, bahwa ia akan sangat menghormatiku.

Ia lalu menanyakan sesuatu tentang masa laluku dengan mantan suamiku. Aku menjawabnya. Namun semakin banyak kata yang terucap, semakin perih hati ini tersayat, teringat akan semua perbuatannya padaku. Aku terisak, ia meminjamkan punggungnya, dan meremas tanganku perlahan. Seakan mengatakan kalau “you are gonna be okay..I’m here with you..” Ia lalu membiarkanku hingga aku merasa tenang.

Oh.. secara batin aku semakin merasa dekat dengannya..

Salahkah bila aku menyimpan harap padanya? Namun tiba-tiba aku tersadar.. cukup berharga kah diriku untuknya? Cukup berhargakah aku untuk diperjuangkannya?

Ahh.. aku hanya bisa menyimpan asa. Manakala ia ingin mencari ‘yang tidak seperti aku’.. hatiku pasti akan hancur..berkeping-keping, dengan serpihan yang jauh lebih kecil….akan merasa sangat berat untuk melepasnya dan merelakannya pergi. Tetapi mungkin aku akan merasa bahagia, bila ia berbahagia.

Hmmmm, could I?

......................

-->finalmente encontrĂ³ a alguien y es feliz de que usted<-- ;)

Jumat, Mei 08, 2009 at 22.58

2 Comments to "Senja di atas bukit"

whew! Baca ini berasa menjalani sendiri.. :)

I like it! 'coz I feel it.. ;)
Merasa menemukan pemilik tulang rusuk ini...

'Bertahan' sedikit lagi..aku yakin pasti nanti ada masa Rana ktemu 'the one'. Pasti. :)

amiiiinnnnn.. ;)